Senja jingga
Jakarta,
21 Januari 2012
Senja Jingga berlari di
tengah derasnya hujan yang membasahi bumi, tanpa mempedulikan dinginnya udara yang
menusuk kulit, tanpa mempedulikan bagaimana nafasnya yang mulai tersengal-engal,
dan tanpa mempedulikan semuanya. Tentu saja, Senja tahu apa akibat dari semua
ini. Tapi, saat ini pikirannya terlalu pusing untuk memikirkan akibat dari
semuanya. Yang ia tahu saat ini adalah berlari dan terus berlari, sampai ia
merasa tenang.
Senja Jingga bukanlah
tipe remaja yang suka berolahraga. Sejak
ia menginjak bangku sekolah dasar dan sampai saat ini –sampai ia menginjak
bangku sekolah menengah pertama- Senja
selalu absen saat pelajaran olahraga dan yang bisa di lakukannya saat jam
olahraga adalah memandangi teman-temannya yang asyik memainkan bola basket atau
bermain bulu tangkis.
Senja tentu tidak
berbakat dalam hal berlari dan ini adalah pertama kali dalam hidupnya. Ia
berlari dan sakit di dadanya membuatnya tidak bisa menahan semuanya. Hujan masih
turun dengan deras saat Senja berhenti di sebuah taman yang basah dan juga
sepi. Tidak ada obat, tidak ada siapa-siapa. Oh, sungguh tempat yang bagus untuk pergi dari dunia ini. Yeah,
Senja sudah lelah akan semuanya. Kebohongan, rasa sakit ini dan terlebih lagi
bagaimana ia lahir di dunia ini.
Bangku kayu panjang di
taman itu benar-benar basah. Tidak ada bagian yang kering untuk di duduki. Tapi, siapa yang peduli?. Senja
berbaring di bangku itu, merasakan sesak yang sangat di dadanya dan jantung
malangnya yang kembali berulah. Kelopak matanya terpejam perlahan, menahan rasa
sakit di dadanya dan membiarkan air matanya meluncur bersatu dengan air hujan
untuk membasahi wajahnya.
Dan, semua
keping-keping ingatan itu berputar. Tidak begitu cepat, sampai ia kembali
merasakan sesak di hatinya. Begitu sesak, seakan-akan oxygen di bumi ini
menghilang dalam hitungan detik.
-***-
Yogyakarta,
06 Agustus 2009
Sore
itu adalah hari terakhir Senja Jingga bertemu dengan Augus Hopes. Di langit
senja dengan semburat jingga yang mewarnai langit. Senja dan Augus duduk di
bangku taman sembari menatap indahnya langit sore. Senja berusaha keras agar
tidak ada air mata yang menghujani wajahnya. Senyum yang begitu di paksakan
terukir di wajahnya. Augus Hopes, orang yang selama ini ia anggap sebagai
kakaknya sendiri akan pergi.
Begitu
jauh, rasanya Senja sudah tak sanggup lagi untuk terlihat tegar di hadapan
Augus. “Senja, kakak janji, kakak akan kirim surat ke Senja. Kakak juga akan
mengunjungi Senja sesering mungkin”ucap Augus Hopes berusaha menenangkan Senja.
Tapi, percuma, jauh dalam hati Senja ia tidak ingin Augus Hopes di adopsi. Ia
tidak ingin Augus Hopes pergi jauh darinya. Tapi, di sisi lain, Senja Jingga
juga tahu itu adalah keinginan yang egois.
Senja
masih menatap langit, ia hanya mengangguk sebagai jawaban ‘ya’. Matanya memupuk
air mata yang siap untuk meluncur ke wajahnya. Sampai Augus Hopes menyentuh
pundaknya dan membuat tubuh Senja berhadapan dengannya. Membuat Senja tidak
bisa menghindari tatapan Augus. Lalu, dengan lembut Augus Hopes memeluk adik
yang sangat di sayanginya itu. “kalau Senja mau nangis. Nangis saja, jangan di
tahan. Kakak tahu, kamu berusaha menahan tangisan kamu kan?”.
Augus
Hopes memang tahu segalanya tentang Senja Jingga. Bulir-bulir air mata mulai
turun dari kedua mata Senja. Jujur saja, Senja belum siap untuk kehilangan
Augus. Selama ini yang mengerti dirinya hanyalah Augus. Orang yang selalu
menjaganya di sekolah adalah Augus. Ia dan Augus bagai jari telunjuk dan jari
tengah. Begitu dekat, Senja tak mampu membayangkan hidup tanpa Augus Hopes.
Tapi,
Augus selalu memimpikan ini. Augus Hopes selalu berharap ada orang yang ingin
mengadopsinya. Dan harapannya terkabul. Bukankah kebahagiaan Augus kebahagiaan
Senja juga?. Senja mengusap air mata, menarik oxygen sebanyak mungkin dan
menghembuskannya. Bibirnya terangkat membentuk seulas senyum –kali ini senyum
yang tulus. Matanya kini menatap mata Augus.
Lalu,
tangannya mulai bergerak sebagai ganti mulutnya yang tak mampu berbicara. Dan
tentu Augus paham betul tentang bahasa isyarat. ‘aku akan baik-baik saja.
Tenang, aku akan selalu tersenyum untuk kakak. Aku akan bahagia. Aku senang
jika kakak senang’. Augus Hopes tersenyum lebar dan mengusap rambut panjang
Senja. “makasih yah, Senja”.
Sebenarnya,
Senja Jingga masih ragu jika ia dapat hidup tanpa Augus Hopes. Tapi, ini
kehidupan. Apapun yang akan terjadi, walaupun itu tidak sesuai keinginan hati,
kita tetap harus melewatinya jika masih ingin bernafas di dunia.
-***-
Tubuh Senja menggigil
hebat, nafasnya sangat tidak beraturan dan Senja yakin wajahnya begitu pucat.
Tapi, lagi-lagi Senja berkata pada hatinya, siapa
yang peduli?. Tangannya memegang erat dadanya yang kembang kempis. Ini jauh
lebih sakit dari biasanya. Jantung lemah ini semakin berulah. Mata Senja
melihat ke sekeliling, masih tidak ada siapa-siapa.
Jika ia mampu bersuara,
jika saja tubuhnya tidak terlalu lemah. Mungkin, Senja sudah berteriak
sekencang-kencangnya. Senja Jingga bukanlah tipe orang yang mudah putus asa
untuk menjalani kehidupan. Tapi, kenyataan ini mengubah sekaligus menyakitinya
melebihi serangan jantung ini.
-***-
Yogyakarta,
30 September 2010
Sudah
setahun lebih Augus Hopes meninggalkan panti asuhan dan juga Senja. Hari demi
hari yang Senja lewati kurang berwarna. Kepergian Augus Hopes memberi dampak
yang begitu besar dalam hidup Senja. Di sekolah, Senja hanya sendiri, tidak ada
siapapun yang menemaninya. Tidak ada
yang mengajakanya ke kantin. Tidak ada yang menemaninya saat jam
pelajaran olahraga. Tidak ada Augus Hopes di sampingnya.
Tapi,
walaupun begitu Senja berusaha untuk memenuhi janjinya pada Augus Hopes. Senja
tersenyum walau jauh dalam lubuk hatinya ia kesepian. Senja berusaha untuk
bahagia walaupun hatinya berkata lain. Tidak apa-apa, Senja mampu memenuhi
janjinya. Karena Augus juga menepati janjinya pada Senja. Walaupun tidak
semuanya.
Augus
tidak menampakkan wajahnya di depan Senja sejak hari itu. Tapi, Augus
mengiriminya surat seminggu sekali.
Setidaknya, Augus masih memberi kabar pada Senja. Setidaknya, Senja tahu bagaimana
keadaan Augus. Setidaknya…
Hujan
turun membasahi tanah Yogyakarta dengan deras. Membuat Senja tidak bisa pergi
ke taman itu. Membuatnya tak bisa menatap warna jingga di langit senja. Ibu
Dewi memanggilnya ketika kedua mata Senja menatap langit yang murung dan betapa
kegetnya Senja saat Ibu Dewi mengatakan ada orang yang mau mengadopsi. Senyum
Senja mengembang lebar.
Seorang
wanita dengan rambut panjang dan lurus berwarna coklat masuk ke dalam ruangan
Ibu Dewi. “nah, Senja. Tante Sartika ini yang akan mengadopsi kamu”. Ibu Dewi
merangkul wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Wanita yang bernama
Sartika itu tersenyum hangat dan mengelus rambut Senja. “halo Senja”sapa
Sartika ramah.
Senja
menatap Sartika dan tersenyum. Tuhan begitu baik, pikir Senja. Setelah setahun
Augus Hopes pergi, Tuhan kembali memberikan seseorang untuk menemani Senja. Dan
Senja sangat bersyukur dengan anugerah ini. Ia begitu bahagia, tanpa memikirkan
apapun, tanpa menanyakan alasan kenapa Sartika memilihnya. Senja menganggukkan
kepalanya dan memeluk Sartika. Oh, pelukan ini lebih hangat di banding pelukan
dari Augus.
-***-
“Senja! Senja! Senja!”.
Oh, Augus Hopes datang di saat seperti ini. Senja tidak bisa melihat wajah
Augus dengan jelas. Oh, Augus, jika saja dia tidak berbohong pada Senja.
Seandainya semuanya tidak berjalan seperti ini. Jika saja, ah, semua ini
mungkin tidak akan terjadi.
Senja hanya tersenyum
getir saat merasakan tangan Augus menyentuh tubuhnya. Saat merasakan perasaan
kecewa yang mendalam pada kakaknya Augus. “Senja! Senja! Are you ok? Senja! please,
don’t be like this..”. Tangan Augus
membawa tubuh Senja ke dalam dekapan Augus Hopes. “Senja, kakak minta maaf.
Maaf..”. Senja merasakan hangat itu lagi. Tapi, ini jauh lebih berbeda di
banding dulu. Pelukan Augus tidak lagi sehangat dulu. Pandangan Senja kian
buram, lalu bagai kilat yang menyambar, semuanya menjadi gelap dalam hitungan
detik.
-***-
Jakarta,
30 September 2011
Tepat
setahun sudah Senja tinggal bersama Sartika. Hari-hari yang ia lewati bersama
Sartika begitu menyenangkan. Senja tak lagi merasa kesepian sejak Sartika datang
ke dalam hidupnya. Walaupun Senja masih merasakan kehilangan karena Augus Hopes
belum menemuinya sejak sore itu. “Senja, malam ini kayaknya mamah pulang larut.
Jadi, nanti Senja langsung tidur aja. Jangan tungguin mamah, ok?”.
Senja
mengangguk dan juga tersenyum lebar saat merasakan tangan Sartika yang membelai
rambutnya. “Senja, mamah berangkat dulu yah. Bye, sweetheart”. Sartika mengecup
kening Senja lalu berjalan keluar meninggalkan Senja. Sartika memang wanita
yang sibuk tapi walaupun begitu ia masih berusaha untuk meluangkan waktunya
untuk Senja Jingga dan itu membuat Senja semakin menyanyangi Sartika.
Lalu,
setelah Sartika pergi dengan mobil Lexus hitamnya, Senja Jingga menaiki tangga
rumahnya dan masuk ke dalam kamarnya. Ada sesuatu yang hilang, Augus Hopes. Dia
tidak ada dan itu yang hilang dari hari-hari Senja. Augus Hopes tidak lagi
mengiriminya surat. Bahkan, janji Augus yang akan menemuinya tidak di penuhi
Augus. Terselip rasa kecewa saat memikirkannya.
Senja
menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha sekeras mungkin agar ia tidak kecewa
pada Augus. Pasti ada alasan kenapa Kakaknya itu tidak mengabarinya. Mungkin
saja Augus sibuk dengan sekolahnya. Yeah, pasti Augus Hopes sedang sibuk dengan
sekolahnya jadi Augus tidak sempat menulis surat pada Senja. Bagaimanapun juga,
Augus Hopes, Kakaknya itu sudah mempunyai kehidupan sendiri di London sana.
-***-
Augus Hopes begitu
panik ketika kedua kelopak mata Senja Jingga terpejam. Air mata tumpah dan
bersatu dengan tetesan hujan di wajahnya. Ini salahnya, Augus tahu Senja
adiknya sangat terkejut ketika kenyataan itu terkuak. Menimbulkan bekas luka di
hati adik kesayangannya ini. Augus juga tahu seberapa banyak kesalahan yang
telah ia lakukan pada Senja. Berawal dari janji yang tak di penuhinya lalu
berlanjut dengan kebohongan yang menurutnya harus Augus lakukan. Namun, di
balik semua tindakan Augus Hopes, ia mempunyai alasan. Alasan mengapa ia
melakukan kesalahan itu. Augus Hopes tidak ingin Senja Jingga terluka.
Dengan tubuh yang
menggigil hebat, Augus mengangkat tubuh Senja yang makin kurus di banding
sebelumnya. Kakinya berlari menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari taman.
Setelah menaruh Senja di jok mobil depan, Augus segera menancap gas. Melaju
dengan kecepatan yang mampu membuatnya celaka.
Rasa takut akan
kehilangan adiknya kembali menyelimuti hatinya. Adiknya yang malang, adik yang
sangat ia cintai, oh, Senja Jingga, Jika Augus dapat mendonorkan jantungnya
mungkin sudah sedari dulu Augus melakukannya. Karena, apapun akan Augus Hopes
lakukan demi kebahagiaan adik tercintanya.
-***-
London, 06 Agustus 2011
Augus
Hopes terdiam di tempatnya. Terkejut, sedih dan takut menyelimuti hatinya kini,
membuat keadaan hatinya menjadi kacau balau. Kemarin, kenyataan yang di
ketahuinya membuatnya tercengang. Kenyataan bahwa orang yang mengadopsinya
adalah orang tua kandungnya. Laki-laki bernama Mark Hopes itu memberitahu
kenyataan yang entah harus Augus sikapi seperti apa. Lalu, hari ini kenyataan
kembali memukul wajah dan juga hatinya. Augus Hopes terdiam dan mengurung
dirinya di kamar.
Vonis
yang di berikan Dokter kepadanya membuatnya tak mampu berpikir jernih. Membuat
semangat dalam hidupnya sirna sekejap saat vonis itu meluncur dari mulut sang
dokter. Lalu, wajah Senja terbayang dan awan-awan juga membentuk wajah adik
kesayangannya. Ukiran senyum terukir dengan sempurna di wajah Augus. Senja
Jingga, orang yang ternyata adalah adiknya namun berbeda induk.
Entah
apa yang harus Augus rasakan saat ini. Bahagia? Atau sedih?. Mungkin,
kedua-duanya. Tapi, Apa reaksi Senja jika mengetahui ini?. Apa Senja akan
bahagia?. Tapi, berdasarkan penjelasan Ayahnya, Senja dan Augus terlahir dalam
suatu hubungan yang salah. Mereka berdua masuk ke dalam dunia karena perbuatan
yang di laknat oleh semua orang. Apa Senja akan sedih? Haruskah Augus Hopes
memberitahu Senja tentang ini?.
Kedua
bola mata hijau Augus menatap langit cerah London dari jendela kamarnya.
Mentari bersinar dengan gugup dan gumpalan kapas yang melayang di langit masih
membentuk wajah Senja Jingga. Oh, adik yang di kasihinya itu, kira-kira apa
yang sedang dia lakukan? Apakah Senja Jingga menanti surat darinya? Apakah
Senja merindukannya?. Di sini, di bawah langit dan tanah yang berbeda, Augus
Hopes begitu merindukan adiknya itu.
‘Augus Hopes, berdasarkan hasil tes, Kau
menderita leukemia stadium akhir. Walaupun harapan untuk sembuh begitu kecil.
Tapi, jangan putus asa. Mungkin, Tuhan akan memberikan keajaiban untukmu’.
-***-
Cairan berwarna merah
tua dan berbau anyir keluar dari hidungnya. Tubuhnya bergetar hebat namun Augus
masih menancap gasnya untuk membawa Senja Jingga ke rumah sakit terdekat.
Keadaannya saat ini begitu buruk, penyakit terkutuk ini kembali berulah. Augus
mengeratkan pegangannya pada stir mobil. Menarik oxygen sebanyak mungkin lalu
menghembuskannya.
Tanpa memikirkannya
kesadarannya yang mulai menurun, Augus Hopes keluar dari mobilnya, tangan
kanannya memegangi tengkuk Senja sedangkan tangan kirinya menopang kaki Senja.
Kedua kaki Augus Hopes berlari masuk ke dalam rumah sakit. Sembari berlari,
Augus Hopes juga menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. Pandangan
Augus makin kabur, semua di matanya tampak berbayang-bayang.
Augus berteriak pada
perawat untuk segera menangani adiknya. “tapi, anda bagaimana? Hidung anda
berdarah”sahut perawat itu dan menatapnya. Persetan dengan tubuhnya yang lemah,
Augus Hopes tetap menyuruh perawat itu untuk segera menangani adiknya. Lalu,
tak lama Senja Jingga di bawa masuk ke dalam Unit Gawat Darurat. Augus
tersenyum kecil saat adiknya masuk ke dalam ruangan itu lalu semuanya menjadi
gelap sekejap. Augus Hopes sudah tidak mampu menahannya lagi.
---
Sartika dan Mark Hopes
sangat panik ketika Senja berlari setelah mendengar penjelasan dari mulut Mark.
Di tambah Augus Hopes yang menyusul Senja dalam kondisi yang sangat buruk.
Untuk pertama kalinya sejak hari itu mereka ada dalam satu mobil yang sama.
Sartika sibuk menelfon teman-teman Senja sedangkan Mark fokus pada jalanan dan
memperhatikan sisi jalan. Lalu, mata hijau Mark menangkap mobil Augus berada di
depannya. “Tika! Lihat, itu mobil Augus”ujar Mark.
Sartika menoleh ke
depan dan menghela nafas lega. Setidaknya, ia sudah menemukan Augus dan mungkin
saja Augus sudah menemukan Senja. Mark terus mengikuti Augus dari belakang,
rasa cemas, takut dan panik bercampur satu dan membuat keadaannya sangat kacau.
Tapi, Mark masih mampu mengontrolnya. Sedangkan Sartika, kepanikan yang
menyelimuti dirinya membuat Sartika tak mampu mengontrol dirinya.
Mobil Augus berhenti di
depan rumah sakit. Sosok Augus keluar dari mobil dan membawa Senja masuk ke
dalam rumah sakit. Air mata Sartika semakin deras mengalir ketika di lihatnya
Senja sudah tidak sadarkan diri. “Ya Tuhan…Senja..Senja..”, Sartika mulai
terisak lalu sebuah tangan menyentuh pundaknya. Menepuk pundaknya pelan lalu
berpindah ke lengannya, menggenggamnya dengan lembut. Sartika menoleh ke arah
Mark yang sedang menatapnya. Wajah yang selama ini ia benci sedang bertatapan
dengannya. Mata hijau yang selalu ia benci itu sedang menatap Sartika, tatapan
yang mencoba untuk menenangkan Sartika.
“ayo, kita susul
mereka”, suara Mark begitu tenang walaupun Sartika masih bisa menangkap nada
sendu dalam suara Mark Hopes. Sartika hanya terdiam, hatinya kembali bergetar. Sartika
tidak menolak ketika tangan Mark menarik tangannya keluar dari mobil dan masuk
bersama ke dalam rumah sakit. Genggaman itu membuat Mark Hopes kembali menyesal
karena telah menyiakan Sartika, wanita yang dulu sangat mencintainya dan rela
memberikan perhiasan berharganya untuk Mark. Sartika kembali merasakan perasaan
itu ketika genggaman itu semakin erat. Perasaan yang ia sesali karena ia
merasakannya pada Mark Hopes. Pria yang sangat ia benci saat ini.
Mereka berdua melihat
tubuh Augus Hopes yang terkapar di lantai dingin koridor. Mark melepas
genggaman yang ternyata ia rindukan dan berlari ke Augus Hopes, di ikuti dengan
Sartika. “Augus! Augus! Bangun nak, Augus Hopes!”, Mark terus memanggil Augus
namun yang di panggil tak kunjung menyahut. Sartika memanggil perawat dan
dokter untuk menangani Augus.
Kemudian tubuh Augus di
bawa masuk ke dalam Unit Gawat Darurat. Sartika dan Mark menunggu di ruang
tunggu dengan cemas. Sesekali mereka melirik satu sama lain kemudian menghela
nafas panjang. “aku tahu, ini salahku. Seandainya saja dulu, aku tidak
melakukan hal itu..”.
“ya, ini semua salahmu
Mark Hopes!”seru Sartika ketus. Mark Hopes menghela nafasnya dan mengingat
kembali masa-masa di saat Mark Hopes adalah seorang laki-laki yang jahat.
-***-
Jakarta,
14 Juli 1996
“gugurin
saja, kamu tahu kan aku gak mau kalau kamu sampai hamil. Aku akan transfer uang
buat..”.
“Sialan
kamu Mark Hopes! Demi Tuhan, tega sekali kamu berbuat ini padaku!”.
Tut…tut…tut…
Pembicaraan
itu terputus, Mark Hopes menghela nafas lalu mengangkat kedua bahunya dan
kembali menikmati musik di bar ini. Tadi, Dewi salah seorang perempuan yang di
kencaninya memberitahu kalau dia sedang mengandung janin darinya dan Mark Hopes
bukanlah tipe laki-laki yang bertanggung jawab. Mark lebih memilih untuk
menggugurkan janin itu di banding membiarkan janin itu tumbuh dan masuk ke
dalam dunia ini. Tapi, ternyata Dewi berbeda, dia tidak mau menggugurkan janin
itu. Mark Hopes tidak mau ambil pusing dan membiarkan Dewi melakukan sesuka
hatinya.
Mata
Hijau Mark menangkap seorang perempuan masuk ke dalam bar dengan gugup.
Sepertinya perempuan itu baru pertama kali masuk ke dalam tempat seperti ini.
Perempuan itu berjalan ke arahnya sedangkan temannya pergi ke arah yang lain.
Mata mereka sempat bertemu untuk beberapa detik kemudian perempuan itu
mengalihkan pandangannya. Mark Hopes masih memperhatikan perempuan itu lalu
tersenyum. Tak buruk, dia cantik dan mungkin bisa menambah daftar wanita yang
di kencaninya. “hello”sapa Mark dan perempuan itu pun menoleh.
Tangan
Mark terulur ke perempuan itu. “halo, aku Mark Hopes”ucap Mark memperkenalkan
dirinya. Mark sudah biasa melakukan ini pada perempuan yang ia anggap menarik.
Perempuan itu terdiam sesaat dan tanpa membalas uluran tangan Mark, perempuan
itu membalas ucapan Mark. “Sartika”, dan juga tanpa menatap Mark. Perempuan
yang menarik, baru kali ini ada yang bersikap seperti ini padanya. Mark terus
berusaha untuk mengobrol dengan Sartika. Awalnya gadis itu begitu dingin tapi lama-kelamaan,
Mark berhasil membuat perempuan itu tersenyum.
~~~
Lima
bulan dan Mark berhasil membuat Sartika jatuh cinta padanya. Sebenarnya, jauh
dalam hatinya Mark Hopes merasakan sesuatu yang tak pernah ia alami dengan
perempuan lain. Dan kemarin Sartika mau memberikan perhiasaan berharganya untuk
Mark Hopes. Tanpa ragu sedikitpun.
Satu tahun berlalu, Sartika mengabarinya kalau
di dalam perutnya sudah tumbuh janin hasil dari perbuatan mereka berdua. Dan
seperti apa yang ia lakukan pada Dewi, Mark menyuruh Sartika untuk menggugurkan
janinnya dan tanggapan yang ia dapat sama dengan Dewi. Tapi, ada yang berbeda,
Mark merasa bersalah pada Sartika. Entah kenapa, Mark Hopes juga tidak
mengerti.
Tahun
demi tahun berlalu, Umur Mark Hopes semakin bertambah dan ia mengalami rasa
penyesalan yang mendalam atas apa yang ia lakukan dulu. Mark teringat Dewi dan
segera menghubungi Dewi. Awalnya Dewi tidak ingin memberitahukan apapun kepada
Mark namun pada akhirnya, Dewi memberitahukan kalau anak dari Mark ia kirim ke
sebuah panti asuhan di Yogyakarta. Nama anak itu adalah Augus Hopes.
Kemudian,
Mark mengunjungi panti asuhan yang di beritahukan oleh Dewi. Sebenarnya, Dewi
tak tega tapi karena paksaan dari orang tuanya membuat Dewi harus mengirim
anaknya ke panti asuhan. Mark melihat anaknya, Augus Hopes, mata mereka sama
dan anaknya itu sedang bersama seorang gadis kecil. Wajah gadis kecil itu
membuatnya teringat pada Sartika. Tapi, tak mungkin. Terakhir ia mendengar
kabar bahwa Sartika sekarang berada di Jakarta.
Mark
Hopes mengadopsi Augus Hopes dan membawanya ke London. Augus Hopes adalah anak
yang baik dan penurut, membuat rasa penyesalan Mark Hopes semakin dalam. Sampai
hari itu, di mana ia tak kuasa untuk menyembunyikan semuanya. Di saat ia tahu,
bahwa ternyata gadis kecil yang saat itu bersama Augus ternyata adalah
putrinya. Anak dari Sartika. Mark memberitahu Augus dan Augus begitu terkejut.
Yeah, Mark sudah dapat menebaknya.
Dan
sekarang, Mark harus memikirkan cara untuk memberitahu putrinya yang bernama
Senja Jingga.
~***~
18
Juli 1997
Sartika
terus merutuki dirinya yang begitu bodoh karena membiarkan perhiasaan yang
paling berharga miliknya di renggut begitu saja oleh Mark Hopes dan lebih
bodohnya lagi, Sartika tidak menolak dan ragu saat Mark ingin mengambilnya. Terkutuklah
dirinya dan jiwa maupun raganya begitu hina. Saat ini, Sartika berada di depan
sebuah panti asuhan di Yogyakarta. Menatap buah hatinya yang ia taruh di depan
pintu panti asuhan itu. Senja Jingga, itulah nama anaknya. Indah seperti langit
Senja dengan semburat jingga yang mewarnai langit.
Air
matanya kembali turun, Sartika sungguh terpaksa melakukan tindakan tidak
bertanggung jawab ini. Sartika tidak ingin membuat dirinya bertambah hina jika
menolak perintah orang tuanya. Yeah, ini semua salahnya. Sartika makin terisak
ketika putrinya di bawa masuk oleh seorang wanita yang ia rasa pemilik panti
asuhan itu. Kemudian, Sartika membalikkkan tubuhnya dan berlari di antara
jutaan air hujan yang jatuh dari langit. Sartika berjanji pada dirinya sendiri,
suatu saat nanti ia akan mengambil kembali anaknya.
-***-
21 Januari 2012, Jam
enam pagi
Mark
Hopes, Sartika, Augus Hopes dan Senja Jingga duduk dalam satu ruangan yang
sama. Suasana begitu canggung, Mark Hopes menghirup oxygen lalu
menghembuskannya. Bersiap menjelaskan semuanya pada putrinya. Sedangkan Sartika
bersiap untuk menerima kenyataan buruk, Senja pasti akan marah padanya. Augus
Hopes hanya memandangi Senja, melepas semua rindunya dengan menatap wajah
adiknya yang sudah lama tak di jumpanya.
Mark
Hopes mulai menjelaskan pada Senja dari awal sampai akhir. Senja hanya diam
karena memang dia tak mampu mengeluarkan suara. Seandainya bisa, mungkin dia
akan diam. Senja merasakan tubuhnya terjatuh ke dalam jurang dan merasakan
sakit yang sangat saat menyentuh tanah. Mengetahui bagaimana ia terlahir dan
bagaimana ia bisa berada di panti asuhan itu membuatnya sangat sakit. Senja
merasa dirinya tidak di inginkan untuk berada dalam dunia ini. Senja menatap
Sartika dan Mark Hopes lalu berlanjut pada Augus Hopes. Kakaknya yang ternyata
telah banyak berbohong padanya.
Senja
menyunggingkan senyum getir di bibirnya. Augus yang selalu di percayainya, kini
membuatnya sangat kecewa. Augus tidak memberitahukannya tentang penyakit yang
Augus derita dan juga tentang hubungan Senja dan Augus Hopes yang ternyata
terikat oleh darah. Bibir Senja bergetar, Augus Hopes juga tidak memberitahukan
bagaimana Senja terlahir ke dunia ini. Selama ini, semua orang membohonginya
dan itu yang membuat Senja sangat sakit dan juga sangat kecewa. Senja bangkit
dan berlari keluar dari rumah Sartika. Berlari memukul kenyataan yang
menyakitkan.
-***-
Yogyakarta, 21 Januari
2013
Mark Hopes dan Sartika
berdiri di depan dua pusara di mana Augus Hopes dan Senja Jingga beristirahat
dengan tenang untuk selamanya. Mereka meletakkan sebucket bunga tulip putih di
atas gundukan tanah yang terhias rumput hijau. Dengan batu marmer yang menjadi
tempat nama Senja dan Augus di ukir. Kedua sudut bibir Mark maupun Sartika
terangkat. Keduanya sama-sama menatap pusara kedua anak mereka dengan senyum
yang terukir indah di wajah mereka.
Yeah, sekarang kedua
anak mereka telah pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan Sartika dan Mark
Hopes dengan rasa penyesalan yang mendalam di hati keduanya. Namun, seiring
waktu berlalu, Mark Hopes dan Sartika keluar dari keterpurukan mereka. Keduanya
mengerti kenapa Tuhan memanggil kedua anak mereka. Selalu ada pelajaran
berharga dari hal buruk yang terjadi pada Mark dan Sartika.
Tuhan menyanyangi
mahluk-Nya, tak mungkin Tuhan membiarkan Augus Hopes menderita karena penyakit
yang di deritanya juga Senja Jingga dengan kondisi jantungnya yang sangat
lemah. Sartika dan Mark juga yakin akan rencana indah yang Tuhan siapkan untuk
mereka berdua. Mark Hopes menatap ke arah Sartika, menatap wajah yang selalu
cantik baginya walau umurnya menua. “Sartika”.
“hmm?”.
“Aku tidak tahu kenapa.
Tapi, setiap kali aku melihatmu ada sesuatu yang berbeda”. Mark Hopes menarik
oxygen sebanyak mungkin lalu menghembuskannya. Tangannya mengambil sebuah kotak
di mana sebuah cincin tersimpan di dalamnya. Mark membuka penutup kotak itu dan
sukses membuat Sartika terkejut. “mungkin, ini rencana indah yang Tuhan
siapkan. Maukah kau memaafkanku atas masa lalu yang kelam dan menerima aku yang
baru sebagai pendamping hidupmu?”.
Jantung Mark Hopes
berdetak sangat cepat di banding seekor kuda yang sedang berlari. Sartika
menatap cincin di dalam kotak itu. Sartika tersenyum lebar lalu mengangguk
dengan pasti. Mark Hopes yang sekarang jauh berbeda dengan Mark Hopes yang
dulu. Dan Sartika yakin Mark akan mampu menjaganya juga tidak membuatnya sakit
seperti dahulu. Mark Hopes memeluk Sartika ketika kedua matanya melihat Sartika
mengangguk. “terima kasih Sartika. Terima kasih, I promise, I won’t hurt you anymore. Thank You so much”. Pelukan
itu menghangatkan Sartika, Pelukan yang secara diam-diam ia rindukan kini
kembali di rasakan oleh Sartika.
“let’s live happily together”.
Rawatlah
dan jagalah dengan baik apa yang di berikan oleh Tuhan kepadamu. Terlebih itu
seonggok daging yang hidup. Jangan membiarkan mereka terlantar. Jangan membuat
mereka bertanya siapa orang tua mereka. Karena, mereka layak untuk hidup
bahagia dan merasakan kasih sayang orang tua.
~*S
E L E S A I*~